10/27/2009

TITIK TOLAK MENGENAL ALLAH

Hampir semua orang Islam Indonesia mengenali Allah (ma’rifatullah) lewat rumusan teologi Asy’ariyah dengan sifat 20-nya, yaitu wujud, qidam, baqa’, mukhalafuthu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat, qudrat, irodat, ilmu,hayat,sama’,bashar, kalam dan seterusnya. Ini disebabkan oleh buku-buku akidah yang dipelajari di sekolah, madrasah dan forum-forum pengajaran lainnya, memang mengajarkan demikian. Di pesantren-pesantren pun sama, meski buku-bukunya berbahasa Arab, seperti buku Tijan ad-Darari, Kifayatul Awam, Ummul Barahin dan lain-lain. Buku-buku akidah berbahasa Indonesia ditulis berdasarkan buku-buku berbahasa Arab dimaksud. Maka isinya tentu sama. Akidah sifat 20 ini sudah ada dan sudah dianut umat Islam sejak lama sekali, setidaknya sejak diajarkan oleh Abu Hasan Asy’ari 1.100 tahun silam di Bashrah Irak. Abu Hasan Asy’ari sendiri adalah seorang ulama ilmu kalam. Beliau adalah Ali bin Ismail bin Abu Basyar al-Asy’ari, lahir tahun 260 H dan wafat tahun 324 H. Hingga berumur 40 tahun beliau menganut teologi Mu’tazilah yang dikomandani Ali al-Jubba’I (235-307 H), ayah tiri Abu Hasan Asy’ari dan menjadi tokoh besar sepeninggal al-Jubba’i. Pada usia 40 tahun itu Abu Hasan Asy’ari menyatakan keluar dari mazhab Mu’tazilah, lalu menyusun dan mengajarkan teologinya sendiri, teologi Asy’ariyah.

Akidah ketuhanan Mu’tazilah bertumpu pada 5 dasar/ushuluddin/rukun iman yaitu Tauhid, Keadilan Tuhan, Wa’ad Wa’id, Manzilah bainal manzilatain dan amar ma’ruf nahyi munkar. Rukun Iman versi Mu’tazilah serta penjabarannya itulah yang kemudian ditolak Abu Hasan Asy’ari. Konon Abu Hasan Asy’ari hendak kembali kepada Al Qur’an dan Hadits saja sebagaimana dianut oleh para Ulama Sunnah. Tetapi kemudian beliau merumuskan akidah sifat 20, hal mana ditentang oleh ulama-ulama Tafsir dan Hadits masa itu dan masa-masa berikutnya. Tiga-empat tahun diakhir hayatnya, Abu Hasan Asy’ari mengoreksi kembali teologi sifat 20-nya itu, lalu menyatakan ikut sepenuhnya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, tobatnya yang terakhir ini dibuktikan dengan dikarangnya buku al-Ibanah’an Ushul ad-Dinayah.
Kalau Abu Hasan Asy’ari telah rujuk kepada al-qur’an dan Hadits dan telah mengoreksi akidah sifat 20, maka umat Islam penganut teologi asy’ariyah pun seharusnya ikut sikap dan pilihan beliau itu tanpa perlu bersikukuh dan fanatic buta. Kembali kepada akidah yang diajarkan al-Qur’an dan Hadits adalah wajib hukumnya. Ini pasti dan tak terbantahkan. Tapi bagaimana caranya ? berikut jawaban pertanyaan ini.

Tiga Pilihan Qur’ani
Surat pertama diturunkan ialah al-Alaq. Ayat pertama diturunkan ialah lima ayat awal surat al-Alaq itu. Dari sinilah Allah memulai pewahyuan dan pengajaran agama Islam. Dari sinilah pula kita mesti memulai kajian dan pedalaman akidah Islami. “Bacalah nama Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari fase ‘alaqah. Bacalah itu, dan Tuhanmu adalah Maha Pemberi, yang telah mengajari (manusia) lewat qolam ; mengajari manusia apa yang belum ia ketahui. Tuhan ialah Pencipta (al-Kholiq), Tuhan ialah Maha Pemberi (al-Akrom/al-Karim) Tuhan ialah Maha Mengetahi (al-‘Alim/al-Allaam). Akhir surat al-Alaq memerintahkan agar Nabi Saw dan kita semua sujud dan mendekatkan diri kepada al-Kholiq, al-Akram/al-Karim,al-alim/al-Allaam itu lain tidak.

Jadi pilihan pertama ialah menyusun akidah, mengenal dan mengimani Tuhan sebagai al-Kholiq/al-Khollaq (Maha Pencipta), al-Akram/al-Karim (Maha Pemberi),al-alim/al-Allaam (Maha Mengetahui). Ketiga asma al-husna ini diuraikan oleh ayat-ayat dalam surat-surat lain yang turun kemudian Al-Kholiq/al-Khollaq dijabarkan oleh ayat-ayat yang mengandung kata : kholaqo (79 buah), kholaqtu (4 buah), Kholaqta (7 buah), kholaqna (41 Buah), ; yakhluqu (12 buah), kholiq (8 buah), khollaq (2 buah). Totalnya 153, menjelaskan apa-apa yang telah diciptakan, sedang diciptakan dan akan/terus diciptakan. Al –Akrom/al-Karim dijabarkan oleh ayat 40 surat 27, ayat 49 surat 44, ayat 6 surat 82 dan ayat 3 surat 96.Al-Alim/al-Allaam dijabarkan oleh ayat-ayat antara lain : surat 2 ayat 30, 33, 77: surat 5 ayat 97,98 surat 6 ayat 3 , 59 dan lain-lain.
Pilihan kedua ialah menyusun akidah mengenal dan mengimani Tuhan menurut dan mulai dari al-Fatihah, sebagai surat pertama dalam mushaf, dan surat yang turun urutan ke 5 menurut kronologi turun. Maka Tuhan ialah Allah, tuhan semesta Alam (Rabbu’l-alamin), Maha Pengasih dan Penyayang (ar-Rahman, ar-Rahim) dan al-Malik. Dalam surat al Fatihah Allah menjelaskan bahwa Nabi Saw, kita kaum muslimin dan bahkan semua manusia seharusnya hanya menyembah kepada Allah Rabbu’l-alamin yang rahman dan rahim dan menguasai segala hukum serta kekuasaan.
Pilihan ketiga ialah mengkombinasikan dua surat tersebut (al-Alaq dan al-Fatihah). Dari kerangka diatas kita sudah dapat menyusun akidah ketuhanan yang sesuai dengan petunjuk langsung dari Allah itu sendiri. Tuhan yang sesungguhnya ialah Allah, Maha Pencipta, Maha Memberi, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha menguasai segala hukum dan segala kekuasaan. (Allahu’l- Kholiqu ‘l-Karimu ‘l-alimu’ r-Rahmanu ‘r-Rahimu ‘l-Maliku. Dialah Tuhan semesta alam (Rabbu’l-alamin), karena Dialah Pencipta semesta alam ini. Jadi kita mulai dari 7 asma’. Allah adalah lafzhu’l-Jalalah dan Isim A’zham dan 6 asma berikutnya adalah nama diri yang hakiki dan asasi.

Hikmah

Rasulullah Nabiyullah Muhammad Saw tidak banyak bicara soal akidah ketuhanan. Hal ini terbukti oleh sedikit atau sangat sedikitnya hadits-hadits yang mengurai dan menafsir asma’ al-husna. Beliau mengambil dan memegang teguh apa adanya penjelasan wahyu-wahyu yang turun berkenaan dengan akidah ketuhanan ini. Ketika menyabdakan hadits riwayat hasan mengenai firqah-firqah dunia-dimana Yahudi menjadi 71 firqah, Nasrani menjadi 72 firqah dan umat Islam pecah menjadi 73 sehingga berjumlah 216 firqah – baginda Nabi Saw menyatakan hanya satu yang selamat, yaitu man kaana ‘alaa mitsli maa ana’alaihi’l-yauma wa ash-habii, orang-orang yang menganuti agama Allah seperti Nabi dan para sahabatnya dewasa itu. Nabi dan para sahabatnya menerima sepenuhnya dan tunduk sepenuhnya kepada ayat-ayat Allah yang diturunkan sedikit demi sedikit kepada mereka dalam tempo 23 tahun.

Mengapa kita terbuai oleh pemikiran teologis para filsafat (filosof), mengapa kita harus terlena oleh pemikiran para ahli tasawuf (sufi), jika kita memang ber-uswah-hasanah dan berqadwah kepada Nabi Saw? Abu Bakar Shiddiq ra dan Ali ra telah memberikan contoh sikap dan kaidah dalam berketuhanan ini, persis mengikuti Nabi. Araftu robbii bi robbii, law laa rabbi maa ‘araftu robbii, tegasnya Aku kenal Tuhanku (melalui ayat-ayat) tuhanku sendiri. Kalau tidak melalui itu, tentulah aku tak kenal Tuhanku.
Filosof-folosof muslim seperti Ibnu Sina, al-Kindi, al-Farabi ; teolog-teolog muslim seperti Abu Ali al-Jubba’I, Abu Hasan Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi ; dan sufi-sufi seperti al-Hallaj, Abu Jazid al-Bisthami, Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Sib’in, semua telah terpengaruhi oleh cara berfikir klasik (Yunani). Imam Abu Hamid al-Ghazali telah mencoba merekontruksi akidah dengan mebersihkan pengaruh tersebut, dilanjutkan Imam Ibnu Taymiah dan diformulasikan oleh Muhammad Iqbal. Mengapa kita-kita di zaman ini membekukan ide brilian ketiga ulama besar tersebut?

HM Nabhan Husein (Tafsir, Buletin Dakwah Edisi 7/I/23-10-2009).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar