10/22/2009

TAQWA

(Dari Potensi ke Aktualita, Dari Idealita ke Realita)

Ada 17 buah kata taqwa di dalam al Qur’an. Asal usulnya ialah dari kata waqaa-yaqii-wiqaayah/waqyan/waqan-waaq-qi, arti aslinya ialah memelihara, menyelamatkan, menghindarkan, menghalangi dari sesuatu bahaya. Berubah menjadi ittaqaa – yattaqii – ittiqaa’a/tauqiyan/taqwa-muttaqi-ittaqi, artinya takutilah, hindarkanlah. Ditinjau dari urutan turun surat-surat al qur’an, kata taqwa muncul pertama kalinya dalam surat al Muddatsir ayat 56, yakni dalam ungkapan ahlu’-taqwa. Kemudian muncul kedua kalinya pada surat as-Syams yang diperlawankan dengan kata fujur, (fa alhamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa).

Potensi dan Aktualita
Ketika menafsirkan istilah taqwa dan fujur al –Alusi dalam Tafsir Ruhu’lMa’ani berkomentar :” potensi taqwa dan fujur diilhamkan Allah Swt setelah sempurna proses penciptaan bayi dalam rahim ibunya, yaitu setelah lengkap fisik, jasmaninya dan sempurna potensi-potensi rohaninya termasuk fikir. Potensi taqwa dan potensi fujur itu ialah hasrat untuk ta’at kepada Allah dan hasrat untuk maksiat”. Jadi sejak penciptaan dalam rahim ibu, pada diri kita telah terdapat dua potensi berlawanan yang menimbulkan suatu tegangan yang berlaku sepanjang umur (tegangan inheren yang konstan) antara dorongan dan hasrat untuk patuh dan untuk tidak patuh kepada Allah Swt.

Siapa yang menuntun dorongan dan hasrat untuk patuh kepada Allah itu?
Ya, yang menuntunnya Allah sendiri. Karena itu Allah menyebut dirinya sebagai ahlu’l taqwa (Pemilik tutunan taqwa)
Apa media penuntunan itu?
Banyak adanya. Pertama, daya-daya yang telah disusun diinherenkan (dipadukan dan dilekatkan) dalam diri anak manusia (media-media internal). Kedua, pengaruh lingkungan alamiah yang disebut di awal surat as-Syams itu sendiri. Sinar matahari yang menyinari bumi dari pagi hingga petang, sinar matahari yang dipantulkan bulan diwaktu malam, terangnya sinar matahari diterima bumi di waktu siang, gelapnya malam, peredaran benda-benda langit khususnya tata-surya, terhamparnya bumi, semuanya itu merupakan media-media untuk pemberian tuntunan (media-media eksternal). Ketiga wahyu-wahyu dalam kitab suci.

Allah Swt tidak menuntun potensi fujur hingga diaktualisasikan menjadi sikap durhaka kepada Allah. Media ketiga itu tidak menuntun orang untuk berlaku fujur. Sikap dan laku fujur disebabkan ketidak-sejalanan dan ketidak-singkronan antara media-media internal dengan media-media eksternal. Umpamanya, fikiran menganggap matahari sebagai tuhan itu juga tidak betul. Di sini muncul kesesatan dan kefujuran. Ambillah contoh-contoh lain yang sama.

Perintah Taqwa
Dalam al Qur’an ada 54 kali perintah taqwa, dalam ungkapan ittaqullah (takutlah kepada Allah). Jika potensi taqwa yang melekat pada diri tadi melemah atau membeku atau mati karena tertutup oleh ketidak-mengertian atau salah anggapan akan alam lingkungan, maka perintah-perintah taqwa yang 54 itu mengggugahnya kembali untuk disegarkan dan diaktualkan. “Takutlah kamu kepada Allah” (ittaqullah) 54 kali diserukan kepada orang Islam, “takutlah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu” (ittaquu robbakum) 3 kali diserukan kepada seluruh manusia. “Takutlah kamu akan hari kematian” (ittaquu yauman…) dan “takutlah kamu kepada siksa neraka” (ittaquu ‘n-naar). Perintah takutlah kepada Allah (ittaqullah) sangat beralasan, karena terkait fitra kejadian dan kemungkinan melemahnya potensi taqwa itu sebelum sempat teraktualisasikan, atau diambil-alih oleh potensi kedurhakaan. Karena beralasan, maka Allah menurunkan ungkapan la’alla kum ttattaquun dan la’alla um yattaquun, yang masing-masing diulangi 6 kali dalam al Qur’an. Ungkapan pertama ditujukan kepada orang-orang yang berada dalam lingkaran keimanan agar lebih meningkatkan kualitas ketaqwaan dan ungkapan kedua ditujukan kepada setiap orang/ayyuhannaas agar menumbuhkan taqwa.

Definisi-definisi Taqwa
Diriwayatkan bahwa Kholifah Ali bin Abdi Manaf pernah mendifinisikan Taqwa sebagai berikut : at-taqwaa arba’atun : al-khoufu mina’l-jaliil, wa’l-‘amalu bit tanziil, wa ar-ridhaa bil qobiil, wa’l-isti’daadu liyaumi’-robiil. Taqwa itu terdiri dari empat : takut kepada Allah al-Jalil, beramal menurut Qur’an/Tanzil, ridho kepada rezeki yang sedikit, dan bersiap-siap menjalani hari keberangkatan/kematian. Definisi ini menjurus ke orangnya, bukan ke konsep taqwanya. Lagi pula empat kriterianya ini masih memerlukan penjelasan lebih lanjut ; apa dan bagaimana yang dimaksud dengan : takut kepada al-Jalil, beramal menurut tanzil, rela menerima rezeki yang sedikit, apa dan bagaimana siap-tidaknya menghadapi kematian. Kata-kata Ali bin Abdi Manaf ini lebih merupakan kata hikmah dari pada sebuah definisi. Tidak salah memang, tapi belum menyelesaikan soal substansialnya.
Beberapa Ulama merumuskan definisi lain, yaitu : at-taqwaa hiya ‘ibaratun ‘ani ‘m-titsaali awaamiri’l-Laahi wa’j-tinaabi nawaahiihi sirran wa ‘alaniyatun, bermakna :menjauhi larangan-laranganNya. Definisi ini menyangkut konsepsi taqwa, bukan menyangkut orangnya. Inilah pegangan banyak orang sekarang. Kalau ada satu-dua perintah dan satu-dua larangan yang lolos, apakah gagal sama sekali menjadi orang taqwa?. Berapa jumlah perintah Allah yang harus dikerjakan dan berapa larangan yang harus dijauhi itu?. Belum pernah ada penjelasan detail. Konsep taqwa diidealisir sehingga mengawang-awang dan akibatnya sulit direalisasikan masyarakat umum/awam.

Menuju Realisasi
AL-Qur’an menyodorkan definisi-uraian (rosam) dengan cara merinci ciri-ciri orang yang taqwa al-muttaqin), sebagai berikut:
1.Beriman kepada 6 rukun Iman
2.Menginfakkan harta dengan rela hati bagi keperluan keluarga, anak-anak yatim, orang miskin, ibnus sabil, orang yang sangat perlu bantuan dan hamba sahaya yang memperjuangkan kemerdekaan.
3. Mendirikan sholat
4. Menunaikan zakat-zakat
5. Menepati janji
6. Sabar dalam segala keadaan
7. Menafkahkan harta di waktu lapang maupun sulit
8. Memaafkan orang yang minta maaf
9. Mengendalikan diri dengan dzikir dan istighfar
10. Tidak larut dalam kesalahan dan dosa
11. Tidak menganiaya diri sendiri
12. Berjihad dan berperang di jalan Allah
13. Memegang kebenaran dan menyebarkannya
14. Menegakkan kebenaran
15. Takut akan azab Allah
16. Tidak berbuat kerusakan di muka bumi
17. Mengagungkan ajaran Islam umumnya dan syiar haji khususnya

Ciri-ciri ini dimiliki oleh rata-rata orang beriman. Hanya kualitasnya saja yang berbeda-beda, ada yang baru tipis saja dan ada yang tebal, hal mana menentukan tingkatan ketaqwaan.Jadi tingkat ketaqwaan tidak lagi ditentukan oleh kuantitas, melainkan oleh kualitas. Intropeksilah diri masing-masing dan yakinilah bahwa ketaqwaan dapat ditingkatkan kualitasnya.
Shiyamu Romadhan yang baru lalu merupakan training untuk mampu memeprtahankan kuantitas dan meningkatkan kualitas ketaqwaan 11 bulan kedepan. Shiyamu Romadhan bukanlah puncak ketaqwaan, melainkan latihan yang lengkap terkait dengan 20 ciri tersebut.

Lawan taqwa ialah Fujur. Ciri manusia fujur adalah :
1. Menolak agama Allah yang dibawa oleh para Rasul dan para Nabi
2. Mempertuhankan tuhan-tuhan palsu
3. Menghambakan diri kepada berhala-hala, berupa patung orang-orang yang soleh zaman dahulu
4. Dari waktu ke waktu hidup dan kehidupannya dibungkus kepalsuan dan tipu daya
5. Menyesatkan orang dari agama yang benar
6. Bila diajak untuk takut kepada Allah, ia menolak seraya membangga-banggakan dosa-dosa
7. Mengangkat pemimpin orang yang semakinkaya harta dan semakin kaya massa tapi semakin merugikan dirinya (pemimpin) dan merugikan orang lain (rakyat)
Agama Allah mengajarkan Tauhid Rububiyah, yaitu Tuhan sebagai Pencipta/al –Kholiq alam semesta dan Tauhid Uluhiyah dimana penyembahan/peribadatan hanya ditujukan kepada Sang Kholiq.

Hafid A. Ghani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar